Minggu, 23 Januari 2011

Apa Alasan Kita Beragama Islam?

Pengajian ahad pagi kali ini diisi oleh ustadz kodiran salim asal Muntilan. Beliau adalah seorang peneliti independen kajian lintas kitab suci. Pengajian kali ini bertema tentang esensi dari agama Islam, dengan bermuara pada pertanyaan apa alasan kita beragama Islam?

Mayoritas dan hampir seluruh umat yang beragama Islam di Indonesia adalah penganut Islam keturunan, maksudnya adalah seseorang menganut agama Islam karena faktor turun-temurun, bisa dikatakan juga kalau seorang anak agamanya Islam karena ayahnya juga adalah pemeluk Islam. Sehingga banyak dari masyarakat yang masih melaksanakan ritual dalam agama Islam yang menganut dasar “opo jare” tidak berdasarkan sumber utama yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan tidak sedikit pula terdapat pencampuran dengan ritual yang dilakukan oleh orang-orang hindu, tentu saja semua itu lekat dengan bumbu-bumbu kesyirikan. Percaya kepada Allah tapi masih juga ditambah dengan memberikan sesajen pula menyembah kepada “seng baur rekso” kata orang jawa. Maka penting kiranya bagi kita semua untuk senantiasa ber-Islam secara kaffah dengan tauhid kepada Allah sebagai landasan utama.

Dalam menjalani kehidupan sebagai umat Islam kita wajib tahu mengapa kita memilih agama Islam atau apa alasan kita memeluk agama Islam?

Pertama, karena agama yang benar dan diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)

Kedua, karena agama Islam adalah agama yang sempurna.
“Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maaidah: 3)

Ketiga, karena agama yang hanya diterima oleh Allah adalah Islam.
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran: 85)

Ketiga jawaban di atas yang langsung merujuk kepada kitabullah itu sudah lebih dari cukup bahkan sempurna untuk menjadikan kita yakin akan agama yang kita anut. Sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melaksanakan ajaran agama Islam murni sesuai syariat yang telah ditetapkan Allah terhadap umat Islam. Berusaha meningkatkan keimanan dan ketakwaan menjadi suatu keniscayaan. Di samping itu menjauhi ritual-ritual kesyirikan yang dapat menjadikan segala amal perbuatan kita hilang tak berbekas dan jauh dari ampunan Allah, naudzubillah tsumma naudzubillah.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar.” (An Nisaa’: 48)
“seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang Telah mereka kerjakan.” (Al An’am: 88)

Dari pertanyan dan jawaban di atas mengundang satu pertanyaan berikutnya, yaitu mengapa Allah menjadikan Islam agama yang benar?

Pertama, karena Islam adalah agama yang terbebas dari kesyirikan.
"Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (Az Zumar: 3)

Kedua, karena agama Islam adalah agamanya para nabi.
“Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (Al Anbiyaa’: 92)

Ketiga, karena agama Islam adalah agama yang diunggulkan dari semua agama atau agama-agama yang lainnya.
“Dialah yang Telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (At Taubah: 33)

Subhanallah, dengan adanya keterangan dari Al-Qur’an di atas -sekali lagi- akan semakin meyakinkan kita bahwa agama yang benar hanyalah agama Islam. Maka dari itu Allah menjadikan umat yang memeluk Islam sebagai umat terbaik dengan Islam sebagai agama terbaik. Sebagaimana tertera dalam ayat-ayat sebagai berikut:

Pertama, umat Islam adalah umat terbaik.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)

Kedua, umat Islam adalah umat pilihan.
“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Al Baqarah: 143)

Ketiga, umat Islam adalah yang paling tinggi derajatnya.
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 110)

Allah telah menjadikan agama Islam sebagai agama terbaik dan umat Islam sebagai umat tebaik, jadi apalagi alasan kita untuk tidak menjalankan dengan sebenar-benarnya agama yang paling benar di sisi Allah. Mari kita semua berusaha mulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan di sekitar kita menjadi umat Islam yang sempurna, beragama Islam secara kaffah. Dengan demikian, semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang saleh dan golongan pewaris surga-Nya.

Demikian ringkasan pengajian ahad pagi kali ini. Bagi teman-teman yang berdomisili di wilayah mojokerto dan sekitarnya, mari bersama-sama mengikuti pengajian ahad pagi yang diadakan setiap hari minggu kedua dan keempat jam 06.00-07.00 WIB bertempat di Jl. Taman Siswa No. 25 Kota Mojokerto. Semoga bermanfaat.

*Intisari kajian yang disampaikan oleh ust.Kodiran Salim SE, pada pengajian ahad pagi hari minggu, tanggal 12-12-2010

Ibrah dari Kisah Pagar dan Paku

Dikisahkan, disebuah kota kecil, tinggallah seorang saudagar yang masih muda usia. Ia berwajah tampan, berkulit putih, berperawakan tinggi besar, sikapnya sangat sombong, tinggi hati, mau menang sendiri, suka menyinggung perasaan orang lain, bahkan sering menindas orang-orang kecil di sekitarnya. Karena tabiat buruk tersebut, lama-kelamaan ia mulai dijauhi dan dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya. Merasa dirinya semakin tersingkir, pikiran saudagar muda ini jadi kalut, hatinya tidak senang, dan menyimpan amarah mendalam.

Suatu hari, si saudagar muda memutuskan mendatangi seorang guru bijak demi meminta saran dan nasehatnya. Ia mengemukakan keinginannya supaya orang-orang di sekitarnya tidak lagi menjauhi atau mengucilkan dirinya. Sang guru yang bijak mendengarkan semua penuturannya. Setelah memahami duduk persoalannya, sang guru berkata dengan bijak, “Anak muda, setiap saat kamu berbuat jahat, menyakiti hati orang lain, tandailah perbuatanmu itu dengan menancapkan satu paku besar di atas pagar depan rumahmu. Demikian seterusnya. Begitu pagar rumahmu telah penuh dengan tancapan paku, datanglah kembali kepadaku.”

Maka, pulanglah si saudagar muda ke rumahnya dan menjalankan nasehat sang guru yang bijak. Sejak saat itu, setiap kali berbuat jahat atau menyakiti hati orang lain, ia tancapkan sebuah paku besar di atas pagar rumahnya. Selang beberapa bulan kemudian, pagar rumahnya telah penuh oleh tancapan paku-paku besar. Walau demikian, perubahan situasi yang diharapkannya tidak terjadi. Orang-orang disekitarnya tetap saja menjauh dan tidak mau berhubungan dengannya. Ia merasa lelah, hatinya tidak bahagia, dan tetap tidak paham dengan nasehat guru yang bijak.

Si saudagar muda pun kembali mendatangi sang guru. Kedatangannya sudah diduga, dan berkatalah sang guru, “hai anak muda, pagar rumahmu pasti sudah dipenuhi paku. Sekarang, cobalah berbuat sebaliknya. Begini, setiap kali kau urung berbuat jahat atau setiap kali kau telah berbuak baik kepada orang lain, cabut satu paku dari pagarmu. Bila seluruh paku di pagarmu telah habis kau cabuti, datanglah kembali ke sini.”


Untuk kedua kalinya. saudagar muda mematuhi nasehat sang guru. Setiap hari, ia berusaha keras mengendalikan sikap buruknya dan mengubah menjadi perbuatan penuh kebaikan. Setiap kali mampu menahan diri atau sebaliknya berhasil melakukan satu perbuatan baik, satu paku besar dicabut dari pagar. Beberapa bulan kemudian, paku-paku besar di pagar pun habis dicabutinya sendiri. Tanpa disadarinya, ia telah menjadi orang yang lebih sabar, mau mengerti orang lain, dan lebih bijak.

Untuk ketiga kalinya, si saudagar muda datang kepada sang guru dan menceritakan segala perbuatannya. “engkau sudah menjadi orang yang berbeda. Kau lebih sabar, lebih bijak, mau dan mampu berbuat baik. Nah, pelajaran apa yang bisa kau petik?” sang guru melanjutkan, “perhatikan baik-baik kata-kataku ini. Lihat kembali pagar rumahmu. Bukankah setelah paku-paku tadi kau cabut, ada lubang-lubang bekas tancapan? Mau ditutupi atau dipoles seperti apa pun, tetap saja pagar itu tidak bisa mulus seperti sediakala. Renungkanlah hikmah ini…dan jagalah perbuatanmu.”

                                                                               ***

Kisah di atas adalah salah satu kisah yang saya kutip dari buku karya Andre Wongso yang berjudul 16 Wisdom & Success. Kisah di atas menggambarkan betapa pentingnya mengendalikan sikap dan tingkah laku kita dalam kehidupan kita bersama masyarakat. Sikap kita baik berupa tutur kata maupun perbuatan yang kita lakukan haruslah terlebih dahulu kita perhatikan, seringkali kita termasuk saya pribadi kadang secara tidak sadar menyakiti hati seseorang entah itu lewat sikap, tutur kata, tindakan kita kepada orang lain. Bahkan, pernah juga saya pribadi mungkin kita juga niatnya adalah sekedar guyon baik itu bersama kerabat, teman, sahabat, atau seseorang eh ternyata mereka malah menganggap serius dan terjadilah kesalahpahaman yang bisa berakibat kemarahan bahkan kebencian dalam hati seseorang meskipun kita telah berusaha minta maaf dan dia pun memaafkan tetapi bekas dari luka itu pasti masih mambekas seperti analogi dalam kisah di atas, bagaikan paku yang menancap di atas pagar, meskipun bisa di cabut tapi akan berbekas dan tidak akan bisa kembali utuh seperti sedia kala.

Dalam perihal maaf-memaafkan, jika kita ada di posisi orang yang tersakiti keikhlasan dalam memaafkan itu bisa menjadi amal kebajikan tersendiri bagi kita, sebaliknya jika kita berada di posisi yang –baik sengaja maupun tidak- menyakiti seseorang, maka, mari kita jadikan pengalaman itu sebagai refleksi diri untuk bisa menjadi pribadi yang lebih berhati-hati dalam setiap ucapan, sikap maupun tindakan yang akan kita lakukan. Kapanpun dan di manapun itu.

Banyak juga yang mengatakan, kalau sakit badan bisa di obati dan bisa sembuh tapi kalau sudah sakit hati mau cari di manapun obatnya dan bagaimanapun pengobatannya juga sampai kapanpun gak akan ada dan gak akan bisa tersembuhkan. Cukup mengerikan ungkapan barusan, bahwa memang benar yang paling berbahaya dari diri ini adalah lisan kita, jika kita tidak pandai-pandai mengendalikannya, ibarat lantai yang baru dipel menjadi sangat licin dan jika tidak berhati-hati maka bisa terpeleset karenanya dan berakibat petaka. Maka dari itu Rasulullah berpesan kepada kita semua bila ingin selamat dari bahaya lisan maka sebaiknya kita tidak berkata kecuali yang baik-baik, sebagaimana dalam hadis berikut :

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam (HR. Bukhori dan Muslim)

Tidak hanya lewat tutur kata, kalau di era sekarang ini dengan banyaknya sarana media elektronik komunikasi bisa dilakukan di manapun dengan melalui telpon, sms, facebook dan sarana lainnya, yang juga rawan akan kesalahpahaman antar personal.

Terlepas dari pentingnya pengendalian diri dalam menggunakan lisan, pengendalian diri dalam bersikap dan juga bertingkah laku tidak kalah pentingnya karena semua itu bisa berakibat buruk jika tidak terkendali. Jadi, pengendalian diri dalam berbagai aspek semuanya penting diusahakan.

Marilah kita jaga ucapan, jaga hati dan pikiran, jaga sikap dan perilaku kita, dan jangan pernah jadikan itu semua sebagai paku-paku yang melukai hati sesama kita. Dengan kita berusaha untuk lebih berhati-hati dalam bersikap, tutur kata, maupun tingkah laku kita, semoga kehidupan kita penuh dengan kenyamanan dan ketentraman serta kebahagiaan dan kedamaian. Di samping itu juga menjadikan kita semua sebagai pribadi yang santun, sabar dan penyebab kebahagiaan bagi orang-orang sekitar yang kita sayangi. Akhirnya, semoga Allah selalu melindungi kita dari keburukan akhlak. Amiin…

*untuk teman-teman dan sahabatku semua yang pernah merasa tersakiti oleh ucapan, sikap maupun tindakanku, karena ketidaksengajaan atau ke-khilaf-anku sebagai manusia, aku minta maaf. Terima kasih jika berkenan memaafkan.

Meneladani Pengorbanan Nabi Ibrahim

Mina adalah sebuah kawasan perbukitan yang terletak 6 mil di sebelah timur kota Makkah. Kawasan ini pernah menjadi saksi sejarah peristiwa malam pengorbanan seorang remaja berusia belasan tahun bernama Ismail, putera Nabi Ibrahim dan istri keduanya, Hajar, sebagai bukti cinta dan ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya. Sejarah telah mencatat peristiwa sakral ini terjadi pada akhir millennium ketiga sebelum Masehi. (SM 21/95 : 48).

Mencermati kisah Nabi Ibrahim bersama keluarganya, terlebih ketika puncak pengorbanan yang dilakukan olehnya beserta anaknya Ismail, yang pasrah dengan perintah Tuhannya melalui sebuah mimpi. Sang ayah Nabi Ibrahim, yang ketika itu senantiasa ikhlas jika memang putera tercintanya harus menjadi bukti ketaatannya kepada Sang Pencipta, terlebih dahulu ia menanyakan kepada puteranya tersebut apakah ia bersedia untuk melaksanakan perintah Allah lewat mimpinya, dialog tersebut sebagaimana dipaparkan Allah swt dalam firman-Nya dalam surat as-Shaffat ayat 102: 

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". 

Meskipun kekuasaan dan wewenang ada di tangannya untuk melaksanakan perintah Allah, tapi Nabi Ibrahim tidak serta merta melaksanakan perintah itu. Dia perlu bermusyawarah dengan putranya Ismail secara terbuka dan transparan, dan sungguh luar biasa ternyata sang putera ismail dengan ikhlas pula ia menerima perintah Tuhannya yang disampaikan oleh ayahnya. Allah pun menyatakan bahwa Nabi-Nya telah lulus ujian sebagai bukti kepatuhan dan ketaatannya, maka dengan kuasa-Nya pula digantikan-Nya ismail dengan seekor domba atau sembelihan yang besar, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya surat as-Shaffat ayat 104-107: 

Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu, Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” 

Di sisi lain bagaimana dengan kita jikalau kita dalam posisi nabi ismail, akankah kita berani mengorkankan nyawa kita demi ketaatan kita kepada-Nya? Tentunya ketika mendengar kata sembelih saja kita sudah pasti merinding dan ciut nyali, apalagi yang disembelih itu adalah kita sendiri, maupun jika kita menjadi seorang ayah yang harus menyebelih anak sendiri, tentunya naluri seorang ayah akan berusaha mencari jalan agar bukan anaknya yang disembelih bahkan jika harta atau nyawanya sendiri taruhannya. Di sinilah letak betapa besarnya nilai pengorbanan Nabi Ibrahim dan puteranya ismail demi meraih keridlaan Allah Swt.

Mari kita berusaha meneladani nilai pengorbanan yang berupa ketaatan, kepatuhan serta keikhlasan Nabi Ibrahim juga puteranya Nabi Ismail, untuk senantiasa selalu berusaha melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya.

Jangan sampai berbagai alasan seperti kemiskinan –sungguh jika kita miskin maka Allah Maha Kaya-, kebodohan, kemalasan dan lain sebagainya menghentikan laju kita dari upaya untuk berkurban demi meraih keridlaan Allah, serta berkurban untuk kepentingan orang banyak, bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya (kepada Allah dan sesama manusia) dan bermanfaat bagi orang lain?

Hari Raya Idul Adha

Di samping kita meneladani nilai pengorbanan Nabi Ibrahim beserta keluarganya berupa ketaatan, kepatuhan serta keikhlasannya kita juga bisa mengambil ibrah dari pelaksanaan Hari Raya Idul Adha. Idul Adha atau juga biasa disebut dengan Idul Qurban. Hal ini tidak lain karena dalam hari raya tersebut dilakukan ritual penyebelihan hewan qurban yang kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada orang-orang yang tidak mampu (orang miskin).

Sebagaimana pernyataan Abd. Sidiq Notonegoro dalam harian jawa pos (15/11/2010) bahwa ada 2 (dua) hal yang bisa digali dari pelaksanaan kurban ini. Pertama, meneladani keikhlasan nabi ibrahim yang hendak menyembelih putera tercintanya, Nabi Ismail. Dari keikhlasan tersebut akhirnya diganti oleh Allah dengan seekor domba yang gemuk. Inilah pelajaran keikhlasan yang sejati. Kedua, refleksi untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menyembelih nafsu hewani dalam diri. Yaitu sifat rakus, biadab, otoriter, arogan dan sebagainya. Ini karena nafsu hewani dapat menghancurkan harkat dan martabat seseorang, baik di hadapan manusia dan lebih-lebih di hadapan Allah.

Akhirnya, semoga kita bisa menjadikan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim serta pelaksanaan Hari Raya Idul Adha sebagai ibrah dan momentum untuk menjadikan diri kita pribadi yang lebih baik (akhlaknya) dan bermanfaat bagi sesama.