Sabtu, 29 Oktober 2011

Kebaikan vs Kejahatan

Pernah suatu ketika aku berselancar di internet, aku mendapati kata-kata mutiara yang bagus isinya, bahkan untuk direnungkan. Kurang lebih kalimatnya seperti ini:
“Jika kejahatan di balas kejahatan, maka itu adalah dendam. Jika kebaikan dibalas kebaikan itu adalah perkara biasa. Jika kebaikan dibalas kejahatan, itu adalah zalim. Tapi jika kejahatan dibalas kebaikan, itu adalah mulia dan terpuji.”


Kalimat tersebut mengingatkan aku akan pengalamanku semasa aku masih duduk di bangku SMP yang waktu itu aku juga mondok di sebuah pesantren tapi gak penuh –istilahnya santri kalong gitulah- di daerah tidak jauh dari rumahku. Waktu itu aku adalah seorang anak dengan kategori tertutup, cenderung lemah, baik fisik maupun mental. Kondisi fisikku yang lemah membuat persepsi teman-temanku waktu itu mengatakan bahwa aku seperti seorang cewek. Pernah sekali waktu pas ujian pun aku sempat pingsan. Karena itulah aku sering menjadi bahan olokan dan ejekan teman. Aku merasa mayoritas di antara teman-temanku waktu itu tidak menyukaiku, atau bahasa kasarnya seolah memusuhiku.

Pada waktu itu aku pun mengalami ejekan dengan nama panggilan yang jelek dan perlakuan yang buruk lainnya seolah aku dikucilkan yang membuat aku sempat ada rasa mangkel alias jengkel. Aku berpikir mengapa mereka jahat sekali kepadaku? Padahal kapankah aku pernah berlaku buruk terhadap mereka, bahkan kami pun baru saja saling kenal. Namun semua itu ku coba lalui dengan balasan senyum dan sikap yang baik kepada mereka. Apapun perlakuan mereka terhadapku, aku terus berusaha untuk mengurai senyum di hadapan mereka meski hati ini sakit rasanya. Bukan karena aku adalah seorang yang amat baik hati, tapi karena keadaanlah jua yang memaksa aku untuk menghadapi segala perlakuan negatif teman-teman aku itu dengan sikap positif. Aku yakin semua akan berubah.

Namun hal-hal buruk yang menimpa aku itu lama-kelamaan seiring dengan berlalunya waktu, tiba-tiba perubahan besar terjadi. Bagaikan keajaiban bagiku, melihat kenyataan bahwa suatu ketika mereka tidak lagi menjadikan aku bahan ejekan, mereka memanggil namaku sesuai dengan namaku bukan sebutan jelek seperti waktu sebelumnya. Ada apa gerangan?

Apakah mungkin karena nasihat seorang ustadz kami, yang pada suatu kesempatan beliau menyampaikan tentang larangan mengejek atau menjelek-jelekkan orang lain, karena belum tentu yang diejek itu lebih jelek dari yang mengejek. Bahkan justru sebaliknya, bisa jadi yang mengejek itulah yang lebih jelek. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Hujurat ayat 11:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

Alhamdulillah, setelah itu mereka teman-temanku yang dulunya pada mengejekku telah “insaf” dari perbuatannya itu. Sikap mereka seolah berubah 180 derajat menjadi seperti teman yang amat akrab dan sahabat bagiku. Dan tidak pernah lagi aku mendapatkan perlakuan buruk dari mereka sesudah itu. Terima kasih Ya Rabb…

Subhanallah, sungguh dahsyat bila kita selalu menyemai sikap positif di setiap sendi kehidupan, termasuk ketika berhadapan dengan permasalahan hidup. Karena hakikatnya hidup adalah ujian. Itulah yang aku rasakan setelah aku mendapat buktinya sendiri. Mendapat hikmah dengan sikap positif yang aku lakukan yakni selalu berbuat baik untuk menaklukkan segala hal-hal yang buruk menuai hasil yang lebik baik lagi.

Ternyata setelah itu akhirnya aku tahu bahwa di dalam Al-Qur’an pun telah disebutkan dengan begitu jelas bahwa kebaikan bisa mengalahkan kejahatan. Bahkan bisa jadi yang mulanya buruk menjadi baik. Khususnya adalah dalam hubungan antar sesama manusia. Yang mulanya musuh menjadi teman. Sebagaimana firman-Nya:

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushilat : 34)

Subhanallah, benarlah firman Allah tersebut seperti halnya yang telah terbukti bagi aku pribadi. Mungkin di antara sahabat-sahabat sekalian juga pernah mengalami hal yang sama dengan aku. Itulah bukti efek luar biasa dari kebaikan. Dalam ayat yang lain disebutkan bahwa Allah menyukai orang-orang yang senantiasa berbuat kebaikan:

“…dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah : 195)

Mari bersama-sama menjadikan kebaikan sebagai senjata kita dalam mengarungi episode demi episode kehidupan yang kita jalani di dunia ini. Sehingga kebaikan pulalah yang akan kita tuai baik di kehidupan dunia maupun ketika di akhirat kelak. Dan semoga Allah selalu memberikan kekuatan kepada kita untuk bisa tetap berbuat baik dalam segala keadaan. Amin…

Jumat, 28 Oktober 2011

Utamakan Allah di Atas Segalanya

Pernahkah kita renungkan,



Terkadang kita menuhankan sesuatu selain Allah

Ketika pekerjaan berbuah sukses
            Masihkah kita mengingat-Nya?

Ketika uang bergelimangan
            Masihkah kita mengingat-Nya?

Harta dan tahta di depan mata
            Masihkah kita mengingat-Nya?

Tidakkah kita sadar bahwa,

Tidak ada yang bisa membuat kita bahagia,
Kecuali Allah

Utamakan Allah di atas segalanya di dunia ini

Senin, 17 Oktober 2011

Ayo, nulis sekarang juga!

Beberapa bulan terakhir sejak kelulusanku dari perguruan tinggi, hasrat dan keinginanku untuk menjadi seorang penulis terus meningkat. Namun sayangnya hal itu tidak disertai dengan kesungguhan untuk langsung mempraktekkan semua teori yang kuperoleh dari buku-buku motivasi untuk rajin menulis dan menulis. Aku sendiri tak mengerti mengapa semangatku sangat menggebu disaat membaca buku-buku motivasi tentang kepenulisan, namun sebaliknya saat aku mulai ingin menulis aku hanya bengong di depan kertas kosong atau layar komputer.

Beberapa kali membaca tulisan teman-teman yang telah lebih dahulu mengenal dunia tulis-menulis, kata-kata yang digunakan dalam untaian kalimat dalam tulisan mereka seakan mengalir dengan begitu baiknya. Aku sendiri yang membaca tulisannya seolah-olah mendengarkan si penulis tersebut berbicara di hadapanku. Penyampaiannya dalam setiap paragraf sangat sederhana, lugas namun tetap memiliki bobot tersendiri. Begitu pula dengan pemilihan kata-katanya menjadikan sebuah paragraf dari awal sampai akhir dari tulisan mereka menurutku lebih mirip obrolan tatap muka daripada sebuah barisan kata-kata.

Di lain pihak, diriku masih saja menumpuk berbagai “excuse” dalam otakku untuk tidak segera bergerak meraih pena dan menggoreskan segala ide yang ada di kepalaku. Berbagai alasan seperti malas, bingung mulai darimana, gak ada ide atau gak ada bahan lah dan lain sebagainya. Yang kesemuanya bermuara pada satu titik kesimpulan bahwa : menulis itu sulit! Huft, lagi-lagi alasan klasik, menjadikan kesulitan sebagai penutup atas kemalasan diri ini untuk memulai menulis. Padahal dalam sebuah buku motivasi menulis yang pernah kubaca, yang mengutip metode M. Natsir yakni mulailah dengan apa yang ada, karena apa yang ada sekarang adalah telah cukup untuk memulai.

Jadi tunggu apalagi, ayo van! mulailah menulis, menulis dan menulis sekarang juga!

Aku Pasti Bisa Jadi Penulis Sukses

Aku masih belum mampu memulai untuk membuat suatu tulisan yang bagus, aku juga gak ngerti kenapa kok masih terasa susah banget. Padahal, aku telah cukup banyak membaca beberapa referensi tentang motivasi kepenulisan tapi hasilnya masih nihil. Masih juga terpaku pada tulisan orang lain yang menurutku kok kayaknya gampang membuat seperti itu, bahkan alur kata dan bahasanya mengalir dengan begitu nyamannya ketika aku baca. Bagiku itu menjadi semacam semangat di atas kepala belaka, dalam praktiknya jauh panggang dari api, aku belum mampu menciptakan satu tulisan yang cukup berarti yang nantinya bisa dimuat di media massa.

Dalam hati terus bergejolak ingin rasanya segera menuliskan apa yang ada di kepala, namun yang terjadi malah penundaan yang berulang kali kalau aku akan menulis besok, dan besoknya pula aku yakin kalau besok aku pasti bisa menulis tapi sampai sekarangpun aku masih saja ‘memijat-mijat’ tuts keyboard hanya untuk curhat kalau aku masih belum mampu ‘meramu’ kata-kata menjadi sebuah tulisan yang menarik untuk dibaca dan layak untuk dipublikasikan.

Menulis itu mudah, itulah yang sering aku baca di beberapa buku motivasi menulis. Dan memang aku pun yakin jika menulis itu hanya membutuhkan pembiasaan, atau dengan kata lain butuh latihan yang berkala dan konsisten. Tidak mudah menyerah dan pastinya bangkit terus meskipun gagal berkali-kali. Itulah salah satu kuncinya, konsisten berlatih. Yang kalau dalam islam disebut istiqamah.

Meminjam istilahnya St. Kartono, bahwa penulis itu tidak semata-mata lahir, akan tetapi adalah hasil dari pembelajaran. Ya, dengan terus belajar dan belajar maka seseorang akan terbiasa dan setelah terbiasa akan menjadi bisa. Meskipun untuk mengawali karir kepenulisan membutuhkan perjuangan yang ekstra keras, melawan kemalasan dan rasa putusa asa yang aan selalu menggerogoti penulis terutama bagi para penulis pemula. Contoh konkritnya adalah diriku sendiri. Aku sangat ingin menjadi seorang penulis, namun godaan untuk segera menyerah sebelum mencoba dan berlatih terus mengiringi keinginanku itu.

Bahkan, belakangan bisikan-bisikan negatif sering muncul dalam hati yang mencoba menuntunku untuk berhenti dari usaha menjadi penulis. Meskipun demikian, tak lantas membuat nyali dalam hatiku ciut bahkan aku seolah semakin tertantang. Semangat dalam diri ini seperti terbakar oleh ‘nyanyian-nyanyian’ negatif yang sering muncul dalam hatiku. Aku masih yakin bahwa aku bisa menjadi penulis hebat dan aku akan membuktikan meskipun sekarang bagiku menulis terasa seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sungguh amat sulit. Namun, bukankah setiap –setelah- kesulitan pasti akan ada kemudahan?

So, aku harus bisa melawan rasa malas, rasa takut dan rasa putus asa. Aku pasti bisa menjadi seorang penulis! Aku yakin itu, suatu saat nanti namaku akan terpajang di toko-toko buku. Amin…

BISMILLAH, AKU BISA!

Ya, sekali lagi jika aku berpikir (baca: yakin) aku bisa, aku pasti bisa jadi penulis sukses. I CAN , IF I THINK I CAN!

Jumat, 14 Oktober 2011

Bermimpi Ala Kiswanti

Siapa sangka sebuah mimpi kecil seorang ibu rumah tangga sederhana melahirkan hasil yang besar dan tak terduga. Ialah Kiswanti, sosok seorang ibu rumah tangga yang punya semangat luar biasa dalam memperjuangkan satu impian kecilnya, yaitu mengkampanyekan budaya baca. Seorang ibu yang memiliki impian kecil pada mulanya namun menghasilkan sesuatu yang besar di kemudian hari. 

Beberapa waktu yang lalu salah satu stasiun TV swasta, yang saya lupa apa nama stasiun TV itu yang jelas ada logo B berwarna biru, nama programnya Sang Juara, kembali menayangkan profilnya. Setelah sebelumnya pernah juga ditayangkan oleh metro TV. Saya coba melakukan pencarian di google tentang Kiswanti, dan sudah cukup banyak situs atau blog yang mengungkap tentang profil seorang Kiswanti.

Pada masa kecilnya, perempuan kelahiran Yogyakarta, 4 Desember 1962, ini menjalani kehidupan yang berbeda dengan anak-anak seusianya di Desa Ngipian, Jetis, Bantul. Kemiskinan membuatnya tak bisa mengenyam bangku pendidikan formal lebih tinggi. Ayahnya, Trisno Suwarno, seorang tukang becak. Ibunya, Tumirah, penjual jamu gendong.

Meski hanya lulus SD keinginan yang besar Kiswanti untuk terus membaca dan mengumpulkan buku tidak pernah surut. Sambil bekerja membantu orangtuanya sedikit demi sedikit uang dikumpulkan untuk membeli buku.

Tidak bersekolah ia imbangi dengan banyak membaca. Ia mengumpulkan beragam buku bekas, pembelian orangtuanya di pasar loak. Ribuan judul buku telah berhasil dikumpulkannya di rumah sejak dia muda. Kebiasaan itu terus berlanjut ketika dia mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, di rumah warga negara Filipina. Di situ pun Kiswanti meminta agar gajinya sebesar Rp40.000 per bulan dibayarkan dengan buku.

Kiswanti yang memiliki motto "Kemiskinan Bukan Halangan Untuk Cerdas", yang juga tertempel di antara ribuan buku yang tersusun rapi di rak yang menempel di dinding di rumah kecilnya. Tak hanya mengoleksi buku untuk taman baca yang ia namakan "Warabal" atau Warung Baca Lebak Wangi, di ruang depan rumahnya terlihat tujuh unit komputer ditaruh berjajar di meja rendah siap digunakan anak-anak yang mengikuti kursus komputer pada sore hari.

Itu menunjukkan satu semangat dan dedikasi seorang ibu yang sangat sederhana untuk ikut membangun kecerdasan bangsa. Ia memiliki motivasi yang besar untuk menyebarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat di lingkungannya terutama anak-anak. Tidak menunggu hingga menjadi kaya dulu dalam membangun mimpinya menjadikan masyarakat sekitarnya melek baca dan cinta buku, namun ia langsung terjun sendiri meski fasilitas belumlah lengkap.

Dalam wawancara oleh salah satu stasiun TV swasta, Kiswanti mengungkapkan bahwa dirinya dalam upaya mewujudkan mimpinya, bisa dibilang tak mudah. Karena masyarakat belumlah tergugah dengan budaya baca. Dan banyak yang hanya memandang sebelah mata atas usahanya menyebarkan “virus” gemar membaca.


Sebelum ia menjadikan rumahnya sebagai perpustakaan atau rumah baca, ia yang datang kepada orang-orang sekitar dengan membawa beberapa buku koleksinya. pernah juga ketika ia menjadi penjual jamu, ketika menawarkan jamunya ia juga membawa beberapa buku bacaan untuk anak-anak dan umum. Dan yang menarik adalah teriakannya waktu ia menjajakan jamu diselingi dengan slogan yang unik.

Jamu-jamu…
Buku-buku…

Siapa yang ingin sehat minum jamu…
Siapa yang ingin pintar baca buku…

Itulah kalimat yang ia ucapkan setiap kali keliling menjajakan jamu. Sungguh luar biasa sosok yang sangat sederhana dan meski tidak tumbuh dalam ruang lingkup akademis, namun semangatnya bisa jadi lebih besar daripada mereka yang mengaku akademisi. Kita yang mungkin memilki kondisi ekonomi yang lebih baik, berpendidikan lebih baik, sudahkah ada amal nyata kita yang memberikan manfaat bagi sesama?

Kegiatan Kiswanti terdengar Depdiknas. Dan akhirnya ia mendapat bantuan sebesar sepuluh juta yang ia pergunakan untuk membeli rak buku dan HR bagi tetangga yang membantu. Hingga saat ini koleksi Warabalnya sudah mencapai sekitar 2450 buku, Subhanallah, luar biasa.

Dari seorang Kiswanti kita bisa belajar bahwa betapa mimpi yang kelihatannya kecil, sederhana, remeh, namun dengan semangat tinggi untuk mewujudkannya ditambah dengan niat baik kepada sesama akan bisa terwujud dengan indah. Dan bahkan bisa memberikan rasa puas dan kebahagiaan yang tiada bisa dibandingkan dengan kadar materi sebesar dan sebanyak apapun.

Mari kita mulai membangun mimpi-mimpi kita, meskipun itu kelihatannya sederhana atau mungkin serasa tak mungkin terwujud. Namun lihatlah sekitar kita betapa banyak orang yang dalam keterbatasannya bisa meraih apa yang diinginkan, karena yakin bahwa Tuhan Maha Mendengar dan Maha Pengabul Do’a. Meminjam istilah AA Gim yang sempat popular, yakni 3 M. mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai sekarang juga.

So, mari bersegera…!!!