Minggu, 23 Januari 2011

Ibrah dari Kisah Pagar dan Paku

Dikisahkan, disebuah kota kecil, tinggallah seorang saudagar yang masih muda usia. Ia berwajah tampan, berkulit putih, berperawakan tinggi besar, sikapnya sangat sombong, tinggi hati, mau menang sendiri, suka menyinggung perasaan orang lain, bahkan sering menindas orang-orang kecil di sekitarnya. Karena tabiat buruk tersebut, lama-kelamaan ia mulai dijauhi dan dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya. Merasa dirinya semakin tersingkir, pikiran saudagar muda ini jadi kalut, hatinya tidak senang, dan menyimpan amarah mendalam.

Suatu hari, si saudagar muda memutuskan mendatangi seorang guru bijak demi meminta saran dan nasehatnya. Ia mengemukakan keinginannya supaya orang-orang di sekitarnya tidak lagi menjauhi atau mengucilkan dirinya. Sang guru yang bijak mendengarkan semua penuturannya. Setelah memahami duduk persoalannya, sang guru berkata dengan bijak, “Anak muda, setiap saat kamu berbuat jahat, menyakiti hati orang lain, tandailah perbuatanmu itu dengan menancapkan satu paku besar di atas pagar depan rumahmu. Demikian seterusnya. Begitu pagar rumahmu telah penuh dengan tancapan paku, datanglah kembali kepadaku.”

Maka, pulanglah si saudagar muda ke rumahnya dan menjalankan nasehat sang guru yang bijak. Sejak saat itu, setiap kali berbuat jahat atau menyakiti hati orang lain, ia tancapkan sebuah paku besar di atas pagar rumahnya. Selang beberapa bulan kemudian, pagar rumahnya telah penuh oleh tancapan paku-paku besar. Walau demikian, perubahan situasi yang diharapkannya tidak terjadi. Orang-orang disekitarnya tetap saja menjauh dan tidak mau berhubungan dengannya. Ia merasa lelah, hatinya tidak bahagia, dan tetap tidak paham dengan nasehat guru yang bijak.

Si saudagar muda pun kembali mendatangi sang guru. Kedatangannya sudah diduga, dan berkatalah sang guru, “hai anak muda, pagar rumahmu pasti sudah dipenuhi paku. Sekarang, cobalah berbuat sebaliknya. Begini, setiap kali kau urung berbuat jahat atau setiap kali kau telah berbuak baik kepada orang lain, cabut satu paku dari pagarmu. Bila seluruh paku di pagarmu telah habis kau cabuti, datanglah kembali ke sini.”


Untuk kedua kalinya. saudagar muda mematuhi nasehat sang guru. Setiap hari, ia berusaha keras mengendalikan sikap buruknya dan mengubah menjadi perbuatan penuh kebaikan. Setiap kali mampu menahan diri atau sebaliknya berhasil melakukan satu perbuatan baik, satu paku besar dicabut dari pagar. Beberapa bulan kemudian, paku-paku besar di pagar pun habis dicabutinya sendiri. Tanpa disadarinya, ia telah menjadi orang yang lebih sabar, mau mengerti orang lain, dan lebih bijak.

Untuk ketiga kalinya, si saudagar muda datang kepada sang guru dan menceritakan segala perbuatannya. “engkau sudah menjadi orang yang berbeda. Kau lebih sabar, lebih bijak, mau dan mampu berbuat baik. Nah, pelajaran apa yang bisa kau petik?” sang guru melanjutkan, “perhatikan baik-baik kata-kataku ini. Lihat kembali pagar rumahmu. Bukankah setelah paku-paku tadi kau cabut, ada lubang-lubang bekas tancapan? Mau ditutupi atau dipoles seperti apa pun, tetap saja pagar itu tidak bisa mulus seperti sediakala. Renungkanlah hikmah ini…dan jagalah perbuatanmu.”

                                                                               ***

Kisah di atas adalah salah satu kisah yang saya kutip dari buku karya Andre Wongso yang berjudul 16 Wisdom & Success. Kisah di atas menggambarkan betapa pentingnya mengendalikan sikap dan tingkah laku kita dalam kehidupan kita bersama masyarakat. Sikap kita baik berupa tutur kata maupun perbuatan yang kita lakukan haruslah terlebih dahulu kita perhatikan, seringkali kita termasuk saya pribadi kadang secara tidak sadar menyakiti hati seseorang entah itu lewat sikap, tutur kata, tindakan kita kepada orang lain. Bahkan, pernah juga saya pribadi mungkin kita juga niatnya adalah sekedar guyon baik itu bersama kerabat, teman, sahabat, atau seseorang eh ternyata mereka malah menganggap serius dan terjadilah kesalahpahaman yang bisa berakibat kemarahan bahkan kebencian dalam hati seseorang meskipun kita telah berusaha minta maaf dan dia pun memaafkan tetapi bekas dari luka itu pasti masih mambekas seperti analogi dalam kisah di atas, bagaikan paku yang menancap di atas pagar, meskipun bisa di cabut tapi akan berbekas dan tidak akan bisa kembali utuh seperti sedia kala.

Dalam perihal maaf-memaafkan, jika kita ada di posisi orang yang tersakiti keikhlasan dalam memaafkan itu bisa menjadi amal kebajikan tersendiri bagi kita, sebaliknya jika kita berada di posisi yang –baik sengaja maupun tidak- menyakiti seseorang, maka, mari kita jadikan pengalaman itu sebagai refleksi diri untuk bisa menjadi pribadi yang lebih berhati-hati dalam setiap ucapan, sikap maupun tindakan yang akan kita lakukan. Kapanpun dan di manapun itu.

Banyak juga yang mengatakan, kalau sakit badan bisa di obati dan bisa sembuh tapi kalau sudah sakit hati mau cari di manapun obatnya dan bagaimanapun pengobatannya juga sampai kapanpun gak akan ada dan gak akan bisa tersembuhkan. Cukup mengerikan ungkapan barusan, bahwa memang benar yang paling berbahaya dari diri ini adalah lisan kita, jika kita tidak pandai-pandai mengendalikannya, ibarat lantai yang baru dipel menjadi sangat licin dan jika tidak berhati-hati maka bisa terpeleset karenanya dan berakibat petaka. Maka dari itu Rasulullah berpesan kepada kita semua bila ingin selamat dari bahaya lisan maka sebaiknya kita tidak berkata kecuali yang baik-baik, sebagaimana dalam hadis berikut :

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam (HR. Bukhori dan Muslim)

Tidak hanya lewat tutur kata, kalau di era sekarang ini dengan banyaknya sarana media elektronik komunikasi bisa dilakukan di manapun dengan melalui telpon, sms, facebook dan sarana lainnya, yang juga rawan akan kesalahpahaman antar personal.

Terlepas dari pentingnya pengendalian diri dalam menggunakan lisan, pengendalian diri dalam bersikap dan juga bertingkah laku tidak kalah pentingnya karena semua itu bisa berakibat buruk jika tidak terkendali. Jadi, pengendalian diri dalam berbagai aspek semuanya penting diusahakan.

Marilah kita jaga ucapan, jaga hati dan pikiran, jaga sikap dan perilaku kita, dan jangan pernah jadikan itu semua sebagai paku-paku yang melukai hati sesama kita. Dengan kita berusaha untuk lebih berhati-hati dalam bersikap, tutur kata, maupun tingkah laku kita, semoga kehidupan kita penuh dengan kenyamanan dan ketentraman serta kebahagiaan dan kedamaian. Di samping itu juga menjadikan kita semua sebagai pribadi yang santun, sabar dan penyebab kebahagiaan bagi orang-orang sekitar yang kita sayangi. Akhirnya, semoga Allah selalu melindungi kita dari keburukan akhlak. Amiin…

*untuk teman-teman dan sahabatku semua yang pernah merasa tersakiti oleh ucapan, sikap maupun tindakanku, karena ketidaksengajaan atau ke-khilaf-anku sebagai manusia, aku minta maaf. Terima kasih jika berkenan memaafkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar