Jumat, 13 Januari 2012

Jadi Penceramah Dadakan

Pertemuan keluarga sudah menjadi tradisi di keluargaku dari pihak ayah. Setiap dua tahun sekali kami sekeluarga hadir dalam acara pertemuan keluarga, sekaligus sebagai ajang silaturahim dan mempererat tali kekeluargaan di antara kami para keluarga khususnya pihak ayah. Dari mulai Pak de, Bu de dan ponakan beserta anak-anak mereka hadir memeriahkan acara ini.

Tepatnya hari minggu kemarin (08/01/12) aku memperoleh pengalaman baru yang sangat menarik. Pengalaman yang aku peroleh dari pertemuan keluarga tersebut. Seperti biasa, susunan acara yang ada adalah pertama baca dan khataman Qur’an dengan metode masing-masing dari anggota keluarga membaca per juz jadi semua lengkap jadi 30 juz sekali baca. Selanjutnya, setelah selesai baca dan khataman Qur’an, acara berikutnya adalah kultum atau tausiyah yang memang biasanya diisi sendiri oleh ayahku. Sedangkan saat itu ternyata ayahku bilang,

“bentar lagi, kamu yang ngisi ya?”

Wadaw!!! suasana tegang dan grogi dan kekakuan di mulut ini merasuki raga dan campur aduk jadi satu. Karena baru kali ini aku gak persiapan ketika ditunjuk untuk mengisi acara.

“bismillah, nggeh yah”

Tapi aku iyakan saja, karena inilah salah satu kesempatanku untuk bisa berbagi ilmu yang pernah aku pelajari.
Sebenarnya aku pernah ngisi kultum tapi pasti sebelumnya aku udah persiakan dengan matang, karena infonya jauh-jauh hari. Lha sekarang harus bicara dengan tanpa persiapan, harus berpikir sekian detik. Meskipun ini kelihatan ‘sepele’ karena harus mengisi acara di depan sanak keluarga sendiri, tapi tak begitu saja asal ceplas-ceplos bicara gak jelas, tetap harus ada tema dan alur yang harus aku sampaikan. Paling tidak ada manfaat dari apa yang aku bagikan itu.

Dalam keadaan yang sidikit tegang dan galau, aku berpikir keras apa ya yang bakal aku sampaikan? Alhamdulillah, Ting…inga'-inga' (kayak iklan hehe...) akhirnya aku putuskan untuk menyampaikan tentang refleksi tahun baru, serta sebuah kisah dari seorang ustadz yang pernah mengajariku ketika jadi santri di sebuah pesantren dekat kampus semasa kuliah dulu.

Akhir kata, syukur Alhamdulillah, meskipun dengan sedikit kaku gayaku dalam bertutur tapi apa yang kusampaikan bisa mengalir dengan lancar. Aku gak tahu dari mana aku belajar tentang kelancaran itu padahal aku aslinya adalah sorang yang pemalu, aku cuma mempelajari teknik bicara dari para ustadz yang ada di TV maupun yang biasa ceramah di kampung. Dan yang terpenting yang aku bisa ambil ‘benang merah’ bahwa untuk bisa melakukan sesuatu yang terbaik khususnya di saat dadakan adalah dengan MELAWAN RASA TAKUT dan YAKINKAN DIRI BAHWA KITA BISA. Tanpa persiapan saja bisa, apalagi dengan persiapan tentu LEBIH BISA!

2 komentar: